Déjà vu

"Know that I'll be the first one to be relieved when knowing that you already have a replacement for me. Don't disappoint me, dear, because I truly hope that he can make you feel a lot better than myself can do. And when you realized that he's not the one for you, I'll be here, just to know about that, because at that time my heart might already have closed."

Kalo keinget dulu-dulu, gue rasa semua kejadian yang gue alami dulu, beberapa diantaranya kembali terulang. Bahkan bisa di bilang bahwa kejadian-kejadian ini mirip banget sampe luka lama yang harusnya gue pendem akhirnya meluap semua, dan sampe sekarang hati gue ga karuan jadinya.

Baru-baru ini gue ditolak lagi. Akhirnya umur gue engga sebanding sama jumlah penolakan gue. Pastinya kalian pembaca setia udah tau dari postingan Starting New, di mana gue memaparkan semua kejadian saat itu. Nah, ini gue mau lanjutin ceritanya. A new sub-chapter, open~!

Seperti yang kalian baca di postingan sebelumnya, gue menyudahi hubungan pendekatan dengan seorang cewe. Lagi. Dan selama masuk kuliah, setiap kali gue lewat di lorong dan ada dia, she wouldn't even look at me. It's like I was never been there in her life, after all I've done.  Jujur sampe sekarang gue masih berharap bahwa semuanya bisa kembali. There's a little hope, with the size of that a ripe seed, believing that everything could turn back to be normal. Ya gue menyesal di awal, tengah, dan akhir.

Menyesal di awal karena gue terbawa perasaan karena dia pernah bilang kalo dia suka sama gue. Menyesal di tengah karena usaha pendekatan gue ga membuahkan hasil yang baik, berkat dia yang tertutup dan gue yang terlalu protektif dan emosian. Menyesal di akhir karena gue gabisa jadi yang terbaik buat dia, gue gabisa memenuhi ekspektasi yang dia angan-angankan buat gue dan gue gapernah dan gaakan pernah bisa tau apa itu.

Gue bahagia kok, karena dia udah ada yang baru, sementara I couldn't be moved. Jelas, gue gaada usaha apa-apa buat mencari yang baru, karena gue ga yakin bisa dapet kalopun sekarang ini berusaha. Alhasil gue senang-senang sedih pas tau dia udah ada replacement buat gue. Ya, orang yang selama ini deket sama komunitas yang udah gue tinggalkan berkat lingkungan yang bisa membuat gue stray away further from our Creator.  Isi-isinya banyakan jelek-jelek, dan karena gue rasa gue udah gapunya hak dan keperluan di grup yang gue buat sendiri, akhirnya gue memutuskan untuk keluar dari grup tersebut.

Like a saying, let the dog bark. It's all I did until right now. All I did is just wail, resent, and regret myself for not being the best with her expectation. Temen gue sampe bilang gue keliatan lame karena hal ini. I am indeed lame, I couldn't hold my own posture. I could even barely walk when I see her. Ya, sedemikian galau sehingga gue lebih keliatan kayak pasien sakit jiwa atau zombie dibanding manusia yang hidup (kebanyakan galau sih lu, makanya begini .-.).

Tiap minggu gue ibadah ke gereja, ikut persekutuan (walau sering kecelakaan kayak kemaren kaki gue kejepit di parkiran), ngurusin jerawat yang tak kunjung sembuh (oke ini mulai ga nyambung...), mencoba menghilangan bayangan dia dari kepala gue, bahkan dikasih wejangan sama kakak pembina, tapi gue belom sepenuhnya bisa menghilangkan perasaan yang membekas dan akhirnya membawa luka lama yang terpendam kembali. Muncul pertanyaan baru di kepala gue, "did she really like me?", "what if I've fallen to her sweet words?", "did she take my heart too lightly?"

Here's the part that makes me feel that this is deja vu. Kalo kalian ingat gue pernah ngomongin seseorang di postingan lama dari Getting Over sampe Refresh, di mana gue deket sama temennya mantan gebetan dulu (malah mantan gebetan ini sekarang jadi temen main Mobile Legend (alah bocah main moba analog)) dan akhirnya melalui serangkaian kejadian sampe akhirnya putus hubungan layaknya hubungan kemaren. Lucunya, kejadian kemaren ini mirip, karena.....

Nungguin lah lu pada lanjutannya. Hehe.

Oke ini lanjutannya. Jadi dulu gue pernah ngejer cewe, ditolak karena dia lebih milih cowo lain yang lebih bisa "puasin" dia (dalam artian dia haus akan hiburan dan gue kala itu kalah sama cowo ini, karena dia lebih bisa buat sang cewe ketawa, sedangkan gue selalu serius (yauda lah, emang cowo humoris selalu menang)) dan lebih bisa bahagiain dia. Terus putus karena gue, does it even make any sense? Yang buat mirip di sini ya posisi gue yang terlalu serius, sang doi cepet bosen dan kecewa karena gue gabisa bikin dia "attracted" terus-terusan, dan akhirnya dia milih cowo lain. In this case, right after cutting off our relationship she got a fresh, new one. Ada satu hal lagi yang bikin cerita ini mirip, dan gue gamau cerita, cukup beberapa orang aja yang tau, termasuk sang "mantan" doi ini. Surely you know after hearing my story and now you go with him, no?

Sakit, tapi ga berdarah. Perih, tapi ga ada bekas luka. Kesal, tapi gabisa apa-apa selain melihat. Dan pada akhirnya tetep cowo humoris bakal menang sama cowo yang serius, karena bagaimanapun sang cewe gaakan bisa bosen kalo tiap hari dibikin ketawa terus. Dan gue akan tetap jadi orang serius, karena bagaimanapun, yang namanya main-main ikatan hubungannya gaakan kuat sama yang serius. Dan gue, gaakan pernah sekalipun mau jadi orang lain ataupun berubah ngikutin orang lain demi kepuasan ekspektasi sang doi.

To all the girls I've liked before, please be reminded that there was someone who really cherish you to the point that he has had carried so much burden of rejection from you. Don't feel sorry for him, because his only shield of cage might broken because of you.

Paling engga gue punya hal baru yang bisa gue lihat, yaitu bagaimana memperbaiki diri agar gue bisa menerima orang lain apapun itu, atau melihat apakah orang-orang di sekitar gue bisa menerima jati diri gue apa adanya atau engga. Dan mungkin emang belom waktunya Tuhan buat ngasi gue kesempatan buat pacaran, buat reparasi diri. Yah paling segini dulu, adios~

Comments