Is It Even There, My Hope?

Mungkin beberapa dari kalian pernah merasa kalo hidup ini bener-bener berat. Kadang kita sempet mikir kalo jalan yang kita pilih seringkali bukan pilihan yang tepat. Mungkin beberapa dari kalian pernah merasa kalo orang-orang yang kita sayangi mengecewakan kita, entah dari segi apapun. Kadang kita berpikir kalo usaha yang udah kita kerahkan dengan segenap hati malah jadi sia-sia berkat kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. I feel that way, right now.

Apa yang kalian lakukan kalo kalian dikhianati oleh temen yang udah kalian anggap saudara sendiri? Di mana perjuangan kalian buat menjaga pertemanan itu tetap utuh namun dipatahkan begitu aja sama mereka? Gue jujur ga tau harus ngapain, udah lama ga ngerasain hal kayak gini.

Engga, gue ga mengharapkan permintaan "maaf" ato "terima kasih" dari dia. I mean, this is my story, I have no obligations or authority to beg those words. Kecewa aja sih, karena apa yang akan gue bahas hari ini adalah salah satu hal paling buruk yang gue alami selama ini.

Postingan kemaren, gue cerita untuk menjadi full support buat "Mom". Wajar dia labil, baru merasakan banyak hal untuk pertama kali. Perselisihan pasti ada dalam suatu hubungan, mau sebaik apapun pasangan kalian satu sama lain, mau sebagus apapun percakapan kalian tiap harinya. Gue kembali menjadi diri gue 5 bulan lalu, back to dark, gloomy days. Mereka berantem lagi, dan harusnya gue ga tersinggung ataupun marah. Tapi gue bertindak sebaliknya. Gue bahkan rela bolos kelas untuk pertama kali dalam sejarah hidup gue ga pernah bolos. Demi memperbaiki hubungan mereka yang jujur aja banyak banget retakannya. I mean, apakah ga wajar kalo tiap kali berantem harus putus kontak?

Sick again, back on my bedroom, sitting on my desk in the middle of the night, thinking what could I do to save them from making more cracks on their relationship. I could barely sleep, barely could hold my stance as I went rampage on my friends because of them. Thinking maybe they would really realized that there are people willing to do literally anything to prevent any more dangerous threats that could break out their relationship along the way.

Gue rela sampe ga makan, ga kuliah, demi memperbaiki hubungan mereka. Apalah daya, "Mom" yang gamau punya rahasia diatara temen-temennya, malah balik nutupin permasalahan yang dia alami sama doi, entah sebagai bentuk bales dendam ato emang mengikuti jalan hidup gue (ya, dia suka baper, ngambek, dan keras kepala karena sering liat gue begitu). Seriously, sometimes I fear myself. Gue selalu takut sama diri gue sendiri, karena kadang kata-kata yang keluar dari pikiran dan mulut gue selalu nusuk dan sakit banget buat lawan bicara gue. Kadang juga gue takut karena gue selalu mikirin sesuatu yang bahkan wujudnya belom tentu ada dan bakal ter-realisasikan. Gue selalu bisa bikin orang bahagia, paling bisa kasih saran buat temen-temen gue, tapi gue sendiri selalu gabisa ngelakuin apa yang temen-temen gue ikutin dari kata-kata gue. Bukannya keren, cemen iya. Tiap hari depan laptop tetep depresi karena selalu takut. Bukan takut nilai jelek, tapi takut sama diri sendiri. Gue gabisa mikirin diri gue sendiri.

Banyak banget momen yang bisa gue gunakan buat meratapi diri, tapi air mata emang gapernah bisa keluar dengan sendirinya. Even now, right when I'm typing this post. Apa emang pilihan gue selama ini salah? Apa bener gue ga seharusnya melakukan hal itu? Apa bener mereka ga butuh bantuan gue?

Cinta bisa tetep bertahan kalo kedua belah pihak kooperatif. Saling menjaga satu sama lain. Biarpun banyak retakan, ada seberkas harapan yang bisa dipakai untuk menjadi penyembuh. Di kali ke-3 gue berusaha untuk menjaga hubungan temen-temen terbaik gue dengan orang yang mereka kasihi, hampir berakhir tragis. Delusi terus membayang di kepala gue, fragmen-fragmen kemungkinan mereka bahagia bahkan lebih sedikit dari persentase salah satu dari mereka kembali meretakkan hubungan mereka. Gue tau, ga seharusnya gue ikut campur.

Kembali gue bertanya pada diri sendiri. Am I competent? Am I worthy of being his friend? Did I really help him? Did you really hesitate to do what you want to do with them?

Hati gue selalu ga tenang tiap kali gue berbaring untuk menenangkan diri. Ilusi-ilusi pahit menghantui gue. Gimana engga? Mereka mencoba mereka ulang kejadian yang gue alami sebelumnya. Kembali gue bertanya sama kalian. Apa kalian masih sanggup menghadapi mereka? Apa kalian yakin masih mau bantuin mereka saat mereka mendengar ocehan kalian tapi tetep ngelakuin hal-hal yang berbanding terbalik dengan ocehan tersebut?

To be honest, I'm tiring the hell out of myself. Bener-bener gue ngerasa turun sampai ke poin bahwa gue bener-bener ga pantes buat ngelakuin hal-hal yang membantu mereka merajut hubungan yang lebih baik. Berapa banyak pun gue mencoba untuk mengalihkan pikiran gue dengan begitu banyak opsi, tetep gaakan bisa melepaskan gue untuk mikirin mereka berdua. Is it even there? Is there any slight pieces of hope left for me? Is there any fragments of strength left for me to stay and keep on my track? Or has my willpower burned out?

Tanpa sadar, air mata turun buat mereka. Ya, air mata gue. Stabilitas emosi gue udah gaada. Butuh waktu lama buat mengembalikannya. Percuma dong usaha gue? Gatau. Yang bisa jawab cuma mereka dan Tuhan. Apa gunanya meminta mereka untuk cerita dengan ikhlas dan nungguin kayak orang bego, kalo mereka sendiri emang gamau cerita kalo ga pancing dengan sindiran-sindiran yang bahkan bisa menyinggung orang lain?

Nevertheless, I just hope that, someday, they would walk together on the same path, not because of my or other people's help. I sincerely wish that they could rip off their freaking paranoid thinking. So that the fire of hope that I passed on the inside could burn bigger, but stay warm.

This is my grief. My suffering right now. Oh yeah, I almost forgot. Kalo lu baca ini, jangan harap gue bersedia jelasin lagi, karena asumsi lu buat gue dimengerti orang lain itu salah besar. Sok? Itu kata lu. Gue cuma mau cerita sama orang yang ga berpikiran kayak lu. Well, if only you could change "that" side of yours, I'd think thrice to tell you the stories once again.

Adios.

Comments