"Don't try to steal the Spotlight!"

Euphoria causes delusion. Delusion causes panic. Panic causes symptoms unknown even to yourself.


Gue bener-bener "ditendang" dengan statement saat gue dapet evaluasi diri di hari terakhir gue membimbing mahasiswa baru ke lingkungan Binus. Man, stress could never leave my side all these days. 1 minggu yang cukup melelahkan, 1 minggu yang baik, 1 minggu yang merupakan salah satu memori yang akan terus melekat sampai akhir hayat gue. Ya, First Year Program. "Menggembalakan domba", I should say. Kenapa gue bilang gitu? Sebatas pikiran kecil gue mengatakan kalo membimbing anak baru layaknya gembala dengan domba-domba. Menuntun mereka ke jalan yang baik, yang bisa mereka tempuh untuk memperoleh hasil terbaik untuk mereka sendiri. Gue mah terima capek sama rasa bersyukur karena punya respect dari mereka ya udah seneng.


Tapi apa yang buat gue merasa "ditendang"? 1 minggu kemaren dipenuhi oleh diri gue yang bukan diri gue. (Wait... Maksudnya gimana?)

I'm an extreme introvert. Shut-in type that always quiet on the outside, but raging on the inside. Burning people's feeling through social media, and be a scaredy cat when facing reality. Gue yang punya latar belakang dikucilkan, ditindas, dan dikhianati berkali-kali, mulai membuka diri untuk menantang diri gue sendiri. Melawan rasa takut yang gue bawa selama belasan tahun, bekas luka yang takkan pernah bisa hilang, bagai legenda yang ditulis dengan tinta emas diatas kertas putih (oke ini lebay, gue cuma ngutip kata-kata Deddy Corbuzier). Sayangnya, gue kelewatan. Tiap kali gue ngomong, entah ngomongin materi bimbingan atau sekedar basa basi ke mahasiswa baru, gue selalu lari ke masalah-masalah kejombloan dan jejepangan, sehingga gue dikatain "wibu" dan "jones". Di satu sisi, gue emang jones, berkat pengalaman gue yang memang kalian para pembaca setia tau dari blog ini.

Alhasil, tiap kali temen gue ngomong, gue selalu bisa masukkin omongan gue di celah-celahnya. Sampe salah satu temen gue bilang "Pet, jangan terlalu sering ngejayus (gue mencoba ngelawak, tapi emang dasar gue anaknya no-jam, jadi gue selalu berpikiran kalo lawakan gue garing), nanti lu ilang respect dari anak-anak." Gue paham betul tentang hal itu, karena gue sendiri ga ngincer respect. Gue lebih baik merubah diri menjadi lebih baik tanpa harus meminta pengakuan kalo gue udah berubah. "Oh, si Peter udah bisa ngomong di depan banyak orang, dulu kan dia penakut banget, cemen cuma modal berkoar di media sosial".

Lama-lama gue sadar, ternyata emang gue nyari pamor. Pasalnya tiap kali temen gue ngomong gue ikut ngomong, alhasil anak-anak lebih sering denger gue ngomong dan temen-temen gue ga kebagian. Hal itu pula yang semula menaikkan gue, menjatuhkan gue. Gue yang semula memecahkan kecanggungan, malah dibuat berpikir kalo gue itu freak.

Sebenernya, kita cuma tahu sekitar 10-17% secara total dari orang yang kita kenal seumur hidup kita. Gue ga ngambil dari mana-mana, ini riset gue sendiri. Kita ngerasa kita tau semua berdasarkan cerita mereka, apa yang kita lihat dari mereka, mencoba untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Tapi kenyataannya kita cuma tau dikit, dan bahkan bisa jadi kita gatau sama sekali tentang mereka. Ini yang membuat gue kehilangan respect dari orang lain.

Jujur, gue bukan "wibu". Dan tiap kali ada yang ngomong ato ngatain gue "wibu", gue naik pitam. Karena gue emang bukan "wibu". Dengerin lagu jepang, wibu. Pasang foto profil anime, wibu. Punya aksesoris dari karakter favorit di anime, wibu. Gue muak, dan titik puncaknya adalah saat gue ngamuk di grup kelas anak-anak yang gue bimbing untuk memasuki dunia perkuliahan di Binus. Gue emang ga mengharapkan orang untuk menilai gue secara baik, like I'm perfect in their eyes, no. Dan memang ada 1 anak yang akhirnya kecewa berat dengan gue.

Bicara tentang respect, gue paling benci sama orang yang ngaku-ngaku sahabat tapi dia dilema, karena harus memilih mana yang harus dipertahankan, hubungan lawan jenis atau persahabatan. Gue yang ngebantuin, kasih saran, ngomelin dia pas dia deket dan akhirnya jadian (sementara gue masih aja jomblo (iya, makasih, gue bisa bantu orang tapi bantu diri sendiri aja gabisa, mau jadi apa) dan masih menanti cewe tipikal gue yang kayaknya emang gabakal kesampean), malah sekarang harus dimohon-mohon untuk nurutin kemauannya hanya karena gue ga suka dikatain dari belakang. Gue adalah ahli sindir di sosial media, hati-hati aja.

Belom lagi gue beliin seseorang barang (gausa disebut lah ya, privasi. Gue juga udah jijik sama dia) karena kebetulan gue juga mau beli barang yang sama. Dia jadi terkenal berkat barang itu, ya gue seneng dong. Setidaknya dia bakal nyamperin gue bilang makasih karena udah terkenal berkat barang itu, biar gue seneng juga. Gue ga masalah kalo bukan gue yang terkenal, tapi dia bahkan gaada satupun rasa terima kasih nya. Oh, by the way, orang ini pula yang udah gue relain susah-susah buat deket sama gebetannya, malah jadi misah. Jadi orang lain. Munafik. Orang-orang kayak dia wajib untuk dimusnahkan.

Unek-unek gue ga kelar sampe situ. 1 anak belom apa-apa udah main plagiat, copy-paste tulisan gue, abis itu dihapusin beberapa kata, dan dipost layaknya bayi tanpa dosa yang lahir ke dunia (bentar, menurut kepercayaan gue, bayi waktu lahir pun udah dosa...) tanpa cacat cela (kalo lahirnya sehat ga prematur dan gaada kelainan sama sekali). Gue tegor karena hak cipta gue (ya walau gaada lisensi sih..), sembarangan aja main ambil. Freaks don't do plagiarism. I guarantee you that.

Tapi di balik ini semua gue ga sakit-sakit amat. Gue bersyukur gue masih punya temen yang at least ngerti posisi dan keadaan gue, masih mau support gue disaat gue lemah dan terjatuh, gue masih punya keluarga yang masih menopang gue mengejar kesuksesan, anak didik gue yang luar biasa, mereka bandel tapi tetep nurut sama kakak-kakaknya (walau gue kesel juga karena waktu ada tugas buat surat untuk kakak-kakaknya, anak-anak tulis ke gue "wibu" kebanyakan), masih mau diatur, dan mereka seru-seru walaupun cuma kenal dan bertemu selama seminggu.

Gue gatau ada berapa banyak anak-anak yang hilang respect sama gue. Gue gatau berapa banyak orang di luar sana yang kecewa sama gue, marah sama gue, ato bahkan benci sampe akhir hayat sama gue (gue tau beberapa orang yang seperti ini ke gue). I'm not omnipotent. I'm not a God or a Divine or some kind of astral being. I'm not a catastrophe either. I'm just a human being. I, too, have feelings. I can feel joy, pain, wrath, happiness, love, everything. Hidup gue lebih banyak di bawah kalo ibarat roda. Roda kehidupan gue lebih banyak berhenti di bawah, dan sekalinya ada di atas gue terkadang lupa tentang gue yang dulu pernah di bawah untuk bisa ke atas. Gaada yang mampu merubah perspektif orang dalam sekejap, semua punya cara pandang tersendiri. Gue pun sama, meski sama fisik sebagai manusia, pikiran tidak selalu sama. Gue bukan mau ngasih life lessons, engga. I type what I feel I want to share. I tell people what I don't usually say out loud, here. I shout my innermost of my heart here, in this platform. Gue cuma bisa minta maaf kepada orang-orang yang pernah gue sakiti, langsung atau tidak, verbal atau fisik, sengaja atau tidak. Yang lewat, udah lewat. Kata temen gue sih gitu, gue cuma ngutip.

Semoga kalian yang baca postingan ini ngerti inti dari cerita yang gue sampaikan. Makna yang gue simpan di dalam cerita yang gue simpan dalam hati. Adios.

Comments

Post a Comment