"In the end, I realized..."

So here we are, towards our own "path". The "bond" that we brought so high together, and dropped so down together, lingering through my days as I drown myself in misery for being delusional over this "Utopia".

3 bulan menulis bab ke-19 dari buku kehidupan, gue kembali merasakan mental breakdown. Biasanya gue "melarikan diri" dengan mengalihkan perhatian pada hal-hal yang biasa gue lakukan. Yes, read novels or play games. Yah, bukan mereda, makin jadi. Gue bahkan gapunya niat buat ngapa-ngapain, bahkan untuk ngelanjutin tugas kuliah pun serasa begitu berat.

Kenapa?


Selama gue hidup, gue berharap punya pacar dan punya temen lebih lama dari kebahagiaan murni yang gue dapatkan seumur hidup. Ya,  jomblo banget emang kedengerannya, but trust me, both really cost me almost 3/4 my life. Pertengahan tahun, kehidupan gue emang mulai membaik. Masih bisa berantem sama beberapa orang yang bisa gue sebut sebagai "teman", diem-dieman sesaat dan akhirnya baikan tanpa harus minta maaf karena kami sama-sama sadar dan memaklumi tanpa diminta. Gue masih bisa ngebacotin orang yang menyebut gue sebagai "sahabat", satu kata yang gue sangat harapkan di telinga gue, yang disebutkan secara langsung di awal masa kuliah. But, in the end, because of myself...


Di postingan kemarin gue cerita kepahitan gue selama sebulan terakhir, terhitung dari waktu gue menginjakkan kaki ke bab 19 dalam buku kehidupan gue. Ya, merasakan punya pacar untuk pertama kalinya, putus untuk pertama kalinya, dan yang akan gue ceritakan kali ini adalah bagaimana kehidupan gue setelah kejadian ini. Bagaimana terpuruknya hidup gue, bagaimana tersadarkannya gue, dan bagaimana penyesalan gue terhadap segala sesuatu yang gue hadapi sekarang.


Gue ada di kondisi yang tidak memungkinkan untuk menciptakan suasana kondusif, sampe detik gue menulis ini. Sangat tidak memungkinkan. Ada begitu banyak hal yang gue tau tentang dia setelah ptuus, dan hal-hal itu begitu menyesakkan, orang bakal ngira kalau gue "sok-sokan" emosian biar gue dapet perhatian. Dan itu yang gue dapatkan dari "sahabat" itu.


Being encouraged to give her one more chance when I already gave her one last chance to proof her statement to change herself to be a better one (while sounded like I made her "changed" into someone else) by not this pal only, but her friends, and even my parents, has driven me to a corner of depression which I usually had when I had similar occasions. Sebenernya gue gapernah minta orang lain untuk menyemangati gue, apalagi minta saran. Buat gue, minta saran ke orang lain adalah senjata terakhir disaat gue bener-bener jatuh ke bawah. Dan yang gue mintain saran itu ga sembarang orang. Pengen ke psikiater, gapunya duit. Ada sih, gembala gereja gue, tapi gue ga punya keberanian untuk nanya. Dan ini, adalah pemicu dari segala masalah gue saat ini.


Gue sadar kalau gue sebenernya gapunya yang namanya "teman" saat "sahabat" gue sendiri bilang "Lu punya teman buat cerita, buat buat lu jadiin tempat pelampiasan ocehan yang gajelas." Dikala gue depresi berat dan emosi yang tidak terkontrol saat itu, kekecewaan gue memuncak. Di situ gue sadar, gue ga pantes dikasih julukan "sahabat", dan dia ga berhak buat manggil gue "sahabat", karena selama ini gue percaya bahwa teman itu ada untuk menceritakan curhatan, dan curhatan kebanyakan berisi ocehan gajelas yang harus dilepas untuk mengurangi beban dari masalah-masalah yang kita alami.


Gue flashback sedikit. Di saat gue lagi broken (bukan miskin ya, mental), "sahabat" gue ini lagi cekcok sama ketua geng dari kelompok main gue (si bos besar yang pernah gue singgung di beberapa pos gue). Alasannya simpel kok, sebatas diem-dieman disaat kami bertiga sekelas dan si bos ini sama sekali ga dapet kelompok buat tugas (dia lagi study tour ceritanya). "Sahabat" gue ini emang ga gitu berani sama si bos kalau-kalau bos udah marah, jadi gue akhirnya turun tangan. Alhasil malah jadi gue yang berantem sama si bos. Nyatanya, gue baru sadar kalau si bos ternyata bisa mental breakdown juga. Untuk pertama kalinya gue melihat dia sincerely apologizing lewat LINE. Gue yang udah kelewat kecewa dan batas kesabaran gue habis saat itu, cuma bisa berkata "no comment" untuk itu.


Sekarang di sinilah gue, tersangkut diantara argumen-argumen yang gue buat sendiri. Tersesat dalam labirin emosi yang tak berujung. Terjebak dalam kalimat-kalimat pengubah pedoman hidup gue selama ini. Berkat "sahabat" gue ini, gue akhirnya sadar, bahwa selama ini, apa yang gue lakukan sama dia hanyalah delusi belaka untuk membuat gue berpikir kalau akhirnya gue bisa melepas kenangan buruk. Gue yang tadinya optimis kalau pertemanan kami bisa bertahan selama mungkin, kini pupus. Gue meminta dia mencabut julukan "sahabat" itu, dan menawarkan untuk tetep jadi "teman" dengan kondisi yang tidak akan sama sepertu dulu. And again, I realized that my offer had made my situation even worse than before.


Dia udah ga lagi ngumpul sama kelompok yang dari awal masuk kuliah dibentuk dan bareng. Sama seperti tahun lalu, tepat di bulan ini, gue kehilangan seorang teman. Dulu, gue punya 1 kelompok, bertiga, bareng sama "sahabat" ini dan 1 orang lagi. Tahun lalu, gue mengira kalau temen gue ini lebih memilih untuk berteman dengan orang yang lebih pintar. Tahun ini, "sahabat" gue memilih untuk mengambil saran gue, dan bergabung ke kelompok yang sama saat temen gue ini pergi untuk kelompok yang lebih pintar. The very same group.


Yah, gue emang pengecut, ga pernah berani buat bilang yang sebenarnya ke orang-orang secara langsung. Gue yang selalu bisa menyindir orang lain buat menyadarkan orang, tanpa menyadarkan diri sendiri kalau sebenarnya gue yang buat masalah, dan gue yang salah. Gue ngerasa mungkin dia emang gamau lagi punya temen kayak gue, yang gabisa mengontrol emosi sama sekali. Toh gue selalu dikira sensitif kalo banyak ditanya, apalagi sama dia. Ya, gimana engga? Kebanyakan pertanyaan yang dilontarkan olehnya itu mengingatkan gue terus menerus akan mantan, karena dia sendiri demikian.


Gue udah gatau harus ngapain, udah gaada orang yang bisa gue bacotin kalo lagi punya masalah, udah gaada orang yang bisa gue "sensi"-in karena pertanyaan yang berlebih.


Yah, kurang lebih isi cerita gue kali ini itu tentang dia. Mungkin dia bakal baca cerita ini, mungkin engga. But at least I want to tell you one thing. You are one of those people who managed to made changes to my perspective of life. You are one of those people who managed to calm my "storm" whenever it's raging hard and sometimes uncontrollable. Not anymore now, it seems.


Gue bahkan ga berhak untuk berharap buat mengembalikan kondisi. Kerusakan yang gue buat akibat perbuatan gue sendiri, seakan menjadi isyarat dari peringatan Tuhan tentang betapa bebal dan bodohnya gue melihat dunia hanya dari pandangan yang berdasar pengalaman diri. Gue terlalu terpaku dengan harapan yang semula gue buat dan menjatuhkan gue sedalam-dalamnya.


And now here I am, back at square one. I wonder when will God heal me, for I lock myself far deep into my sorrow and wail.

Comments

Post a Comment