Ephemeral -verse 1-
“Preferably,
I’d like to embrace this whole new time, to become braver and stronger. Enough
to face these lingering feelings for you and let go of them sincerely.”
Selamat tahun baru, buat kalian yang udah bertahan
selama 2018 dengan berbagai macam kejadian yang kalian alami. Let’s take a moment to be grateful because
we still survive to this moment.
Semester 3. Semester dengan penuh kepahitan, entah
dari segi perkuliahan, percintaan, pertemanan, keuangan, dan harga diri. Gue menyicil
tulisan ini dari awal mulai semester 3, jadi ini bakalan jadi panjang banget. Believe me, you won’t like it if I tell the
whole timeline here. Jadi gue berusaha untuk membuat tulisan ini bearable to read (gue sekalian udah
riset nanyain temen-temen gue yang baca blog ini, kira-kira enaknya panjang
atau pendek, so here it is, enjoy!).
Gue akan memulai semuanya dari liburan peralihan
semester 2 ke semester 3. As you my dearest
readers know, gue mendapatkan “pacar” dengan cara dan waktu yang bisa
dibilang absurd. Dikenalin ke salah
satu best friend gua, merasa ada
kecocokan, dan dalam 1 minggu gue udah nembak dia. Jadian sih, but there were some prices to pay. Ya,
gue harus melawan trauma gue sendiri dengan naik wahana yang butuh adrenalin
dan ketinggian buat dapet keseruannya. Gue putusin dia karena gue ga kuat
dengan kondisi dan situasi yang dibuat dalam 1 bulan, dan gue juga kala itu
bego banget. Buat komitmen, nyoba buat doain agar hubungan kami lancar, tapi
yang ada malah gue penyakitan dan nambah trauma buat tubuh gue sendiri.
Gue down sepanjang 1 bulan pasca putus. Felt like heaven put on the tolls that I had
to pay as the prices for taking a haste way to things I longed. Berusaha untuk sembuh dari broken-down-mentality, gue dihadapkan pada kedua kubu kuat, “Big Boss” dan “Mr. Anon”. Iya, mereka berantem lagi, dan kali ini mereka beneran
musuhan. Gue makin gila karena gue lagi yang kena imbasnya. Gue harus berantem
sama si Mr. Anon ini. Di satu sisi, dia
punya masalah yang sama beratnya kayak gue, yakni hubungannya sama sang pacar
(kini mantan) yang udah ada di ambang putus dan berangsur lama. Di sisi lain,
gue harus berusaha bangkit and had
salvation over my traumas, gue harus kehilangan salah satu sahabat gue. Untungnya,
gue took a step ahead dan bilang ke
dia kalo gue salah, gue minta maaf, dan akhirnya gue masih bisa temenan sama
dia sampe saat ini.
Sempet kepikiran untuk menutup blog ini, once and for all. Menghapus satu dari
sekian banyak hobi yang gue tekuni, gue mungkin akan terdengar lebay, tapi
emang berat. Sampai ada 1 orang menyemangati gue, he said, “Why would you stop it? I love reading your blog, it has been
my motivations!”. Sejak saat itu gue menulis kembali, dan tulisan ini
adalah bagian dari rasa bersyukur gue karena ada juga yang memotivasi seseorang,
padahal kebanyakan isi dari tulisan gue di blog ini adalah ocehan-ocehan ga
jelas tak berujung. Thanks, pal. This is
my dedication for you.
Masalah percintaan gue (yang sampe dibilang sama temen
gereja (yang juga motivator gue) kalo gue itu romantically hopeless) membawa gue ke everlasting despair sampai ke satu titik di mana gue merasa bahwa
gue sendiri adalah faktor utama dalam kehancuran pertemanan gue. Dan emang
bener, pertemanan gue diuji ketika gue berantem dengan salah satu junior yang
gue ajak masuk ke Binus. Simpel, Cuma
gara-gara dia ga suka sama cara gue menyampaikan fakta (di mana selalu terkesan
ngajak ribut ke setiap orang) dan dia mikir kalo gue kesel sama dia gara-gara
ga di-follow back sama temen cewe yang
mau dia kenalin ke gue. Thus, I
considered that my friendship ended that day. I didn’t have the deserve to be
called his best friend, nor did he.
Stres, parah. Kecewa, jelas. Sakit hati, banget. Tapi
gue bisa apa?
Belom selesai, gue dihadapkan dengan masa perkuliahan
yang begitu berat. Maybe because I slacked
off from church at an intolerable frequency, strayed and strode further from
Our Creator, and tried to run away from suffering in order to take my own “safe
zone” in the middle of my self-made war. Proyek tugas serasa seperti ayunan
bola martil yang dilumuri minyak, licin tapi mematikan. Anggota kelompok yang
gue dapet di semester ini udah cukup pahit buat gue, good enough to take me back into myself back in the prime “pessimistic”
days. Gue mencoba untuk jadi kooperatif, secara gue ditunjuk (lagi) jadi
ketua kelompok. Dan bener, gue ga mampu mengurus kelompok gue sendiri. Sebagian
besar pekerjaan gue lakuin sendiri, atas dasar gue paham betul sifat mereka
yang memang bebal gamau kerja kalo ga dipaksa (tapi abis dipaksa hasilnya jelek
abis) dan gue paling males kalo bagi-bagi tugas sama orang yang gue anggap ga
mampu untuk gue kasi bagian tugasnya. Another
mistake that I made this semester, is that I let that Big Boss into my group.
Gue kasihan sama dia, karena kalo dia kerjain sendiri, dia bisa ga lulus banyak
mata kuliah, at least di semester
ini. Tapi dia pernah bilang kalo dia terpaksa masuk. I couldn’t get myself any worse than that statement of torture.
Segala kepahitan yang gue terima semasa SMP akibat
karma yang gue dapatkan semasa SD membuat gue jadi terlalu halus. Gue jadi
terlalu baik ke semua orang, karena gue paham betul gimana rasanya disakitin
dan ditindas dengan rumor dan perlakuan yang gabakal bisa diterima oleh anak
SMP kebanyakan. Yang pasti, gue berhasil melewati fase itu, di mana pikiran
tentang “bunuh diri” sering terlintas di benak karena terlalu sering
diperlakukan buruk. Gimana engga, baru masuk SMP gue dituduh mau perkosa pacar
dari senior di sekolah. I mean, deketin
cewe aja ga berani, mau perkosa? Belom selesai, gue harus dipanggil ke ruang
guru karena perlindungan diri yang gue lakukan. Apa yang bisa gue, seorang anak
SMP yang tingginya Cuma sepertiga dari tinggi anak SMP Jakarta kebanyakan,
lakukan sebagai perlindungan diri? Masuk ke ruang guru dan disalahin, serta
dapet Surat Peringatan. Pretty much
explained my childhood.
Ada 1 hal dalam keseharian gue yang bisa membuat gue
tenang dari sekian banyak hal yang bisa menenangkan gue. Liatin cewe yang cakep
ato imut lewat di kampus, ato sekedar stalking cewe yang gue suka di Instagram.
Ya, gue sangat paham kalo stalking itu buruk. Setidaknya gue bisa panjatkan
puji syukur sama Tuhan karena ciptaan-Nya yang luar biasa. Well, there's actually one girl that took my interest the most. She's
one of the regulars at church. Gue pernah cerita ke beberapa orang di
gereja juga soal dia. Ada yang bilang kalo gue gaada harapan dulu, jadi gue
yang pada saat itu pesimis banget memutuskan untuk cuma mengagumi dirinya dari
kejauhan. Entah gue kepikiran apa, sampe suatu saat gue beranikan diri bilang
ke dia kalo gue punya perasaan sama dia. Of
course, she took it as a joke karena gue keseringan baper. Yah, waktu-waktu
itu gue masih bisa ngobrol sama dia kalo dia ngebales Instagram Story gue, kadang-kadang dia bales, sekarang sih udah
gapernah, mungkin dia udah nyaman sama cowo yang lagi deketin dia, gatau juga.
Cuma ya gitu, antara gue yang belom begitu berani buat maju deketin, ato dia
yang gamau sama gue pake pura-pura ngira kalo gue bercanda sama dia. Oh ya, gue
pernah janji mau ceritain tentang dia di blog gue, so here it is. Just for you. Gatau ya dikira bercanda lagi ato
engga, kita liat aja nanti, hehe.
Gue mencoba menghilangkan perasaan gue ke dia. Yah,
alhasil gue melirik cewe lain, dong (iya gue genit, gue paham, tapi mana genit
sih, kalo cuma berani liat dan ga berani ngegoda ato bahkan liat dia langsung in the face kalo pas-pasan lewat kalo
lagi jalan?). Dapet nih, 1 cewe. Dia adalah salah satu Freshmen Leader (anggota pembina mahasiswa baru) di kampus, 1 batch tapi beda jurusan. Later did I know that she's on the same
major as my ex. Gue bersyukur sama Tuhan karena bisa sekelas sama dia,
walau cuma di kelas besar doang. Gue bisa liat dia sepuasnya tanpa harus takut
dimarahin dosen ketika beliau lagi ngejelasin di depan mahasiswa-mahasiswi
gabungan 2 prodi besar di Binus
University.
Gue bertekad untuk bener-bener ngehapus semua perasaan
yang gabisa gue sampaikan secara langsung (wong nyindir aja salah, ngomong ke
depan orangnya langsung wes ga berani, toh?), dengan menghapus Instagram gue. Ga, gue ga hapus akun,
cuma uninstall. Itu, buat gue, adalah
jalan terbaik. Daripada lu tiap hari buka dan muka dia nongol di sela-sela
stories temen-temen lu yang lain, terus lu liatin dan akhirnya baperan gajelas
karena perasaan lu sendiri? The thing is,
nothing is eternal. Even for love. Well, you can make it eternal if you can declare
that he/she is "the one". All what I did for myself was none other
than cromulent feelings towards the girls I thought I sincerely liked. This
ephemeral epoch of my feelings has made me to develop anhedonia in every hobby
that I used to do most of my time. And as a result, I found myself stuck in my
own Paranoia of Ephemeral Nevereverland, and I confused myself with a question “Do
you believe a world of happy ending?” and drowned myself into paintings of the
scars that I tried to hide. Tetep aja, sekeras apa pun gue berusaha buat menghapus
perasaan gue sendiri, semakin itu menjadi duri yang menempel erat di hati gue. I kinda thought of it as a disease. Because
the more I fought myself to get rid of it, rather than being relieved, it
became a scar. It became a tempest that messed up my feelings. The more I tried
to erase it, the more I longed for it. But I can't do a single thing about it.
It just won't go away. And that tempest left scars in my tiny room called
heart. Gue belom berani cerita ke temen-temen soal perasaan gue ini,
apalagi di komunitas gereja gue. Buat gue, belom saatnya gue punya seseorang yang
cocok buat gue. Karakter gue belom dewasa.
To be continued.
"Fate is fickle and wretched. It robs a man of his friends and swamps him with enemies. Some, it even turns from friend to foe. And the worst part of it all is that man makes his own fate." -Norton Lorist
ReplyDeleteSAYA H******* P******** REKTOR KALIAN SEMUA, SAYA GA PERCAYA DUNIA HAPPY ENDING
ReplyDeletethere are heartless people - kaneki wibu
ReplyDelete“You can die anytime, but living takes true courage.” – Kenshin Himura
ReplyDeleteSorry to let you down...
ReplyDelete