One-Sided Equilibrium
“When the hands of the clock hastily try
to arrive at 12 o’clock, I’ll leave my heart and leave, so please find it in our
future.” – fromis_9
Berhasil
bertahan dari kerasnya perkuliahan (pastinya karena males gue sendiri), akhirnya
gue kembali ke sini. Sebelumnya gue sama sekali ga kepikiran apa-apa untuk nulis
lagi, karena 1 semester ini buat gue (awalnya) ga gitu asik buat diceritain. Berkat salah seorang kawan (bisa gue anggep saudara
sih, walaupun one-sided, seperti
judul cerita ini), we cracked through my
inner thoughts, he convinced me about what things I could write here, and here I
am now.
Hidup
gue setelah putus dari mantan yang dulu gue banggakan dan doakan tiap malam
jadi fluktuatif. Perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan yang membuat pertemanan
gue dengan beberapa orang pecah saat itu jadi salah satu pengalaman paling berkesan
buat gue selama gue hidup. Untungnya sih, gue bisa baikan sama mereka, tapi... Wait. Let me continue this part later. Beberapa
waktu setelah gue minta putus secara sepihak, mantan gue ini masih bersikeras
untuk minta ketemu dan pengen selesain masalahnya baik-baik. Sampai detik ini, ujung
idung manusia satu ini sama sekali tidak terlihat. Gue sendiri waktu itu merasa
sangat terpukul sampe di titik di mana gue mulai membenci berbagai hal, terutama
makanan pedas dan cewe anak tunggal di keluarganya. There’s this overflowing rage inside me that tells me to keep hating
her until the end of my life, tapi Tuhan berkata lain. Lama-lama gue dipulihkan,
gue udah bisa maafin apa yang udah dia lakuin ke gue di masa lalu, tetep dengan
pemikiran kalo-kalo sampe dia minta balikan gue akan tolak secara keras.
Pertemanan
gue sama beberapa temen sempat membaik, tapi ga lama. Kalo kalian ingat “bos” geng
main tempat gue bernaung? He lost his
trust in me. Gue sama salah satu orang yang satu geng sempet ngobrol soal
ini. Hipotesis dia ada tiga: gue lebih mentingin nilai di kuliah daripada temen;
gue lebih mentingin hobi daripada temen; dan gue lebih mentingin “hutang”
daripada temen. And apparently it’s all what
he thought of me right now. Gue gabisa protes karena emang fokus utama gue
saat ini adalah 3 hal itu. If you ask me why,
pertama karena gue ga pengen IPK gue jelek saat itu, dan gue berusaha sebisa
gue untuk bantu dia biar ga ngulang mata kuliah yang ada di semester lalu. Kedua,
gue paling tekun soal card game. Sebisa
mungkin gue memantapkan diri biar temen-temen gue ga perlu nanya sana-sini
untuk ruling dan gameplay karena ada gue, cuma ya “bos” ini merasa kalo gue jadi ga
peduli sama temen-temennya sendiri. Ketiga, soal “hutang”. Ya, gue punya hutang
sama “bos” ini. Karena udah membebani pikiran gue, akhirnya gue berusaha secepat
mungkin untuk melunasi semua, and in the
end he felt betrayed. Dia adalah tipikal orang yang kalo udah merasa
dikhianati, apapun yang dilakukan mereka dia udah “bodo amat”. Tetep dianggep
temen, cuma jangan harap aja pertemanan yang kalian rasakan sama seperti
sebelumnya, mungkin gitu perumpamaannya.
Topik
cerita gue kali ini bukan hal-hal diatas sih. That’s just an appetizer. Here’s the main course, freshly served for my
readers.
Lately, I’ve been thinking about a lot of
things. All the things that I’ve thought before came into a single assumption that
I called a one-sided equilibrium. All balanced, but only in my way. Akhir-akhir
ini gue mulai mengisi Instagram Story
gue dengan luapan isi hati gue. Tujuannya apa? Ga ada. Gue tulis untuk diri gue
sendiri, dan sengaja gue kasih liat ke orang, mereka suka ga suka bukan urusan
gue. And this is one of my reasons to
stay on this blog to write what I wanted to write and share it without even thinking
about what people’s thought about it. Kenapa gue bilang kalo pemikiran gue semuanya
balanced buat gue doang? Let’s see... Gue pernah suka sama satu
cewe, tapi akhir-akhir ini gue urungkan perasaan itu karena gue tau dan yakin
kalo orang kayak gue hampir ga mungkin buat nge-deketin orang kayak dia. Yang
membuat semuanya one-sided adalah
ketika gue bersikap positif ke pikiran-pikiran gue. Contoh, gue suka sama dia,
dia engga. Gue sering liat dia, dia ga pernah tau kalo gue “exist”, gue tau dan kenal dia, dia mungkin lupa sama gue. Like, you see, in my “positive” side,
everything went well on my side. Dia ga rugi, gue yang untung. Gue bisa liat
dia sepuas gue tanpa harus di-cap freak
sama dia, karena dia ga pernah liat gue. One-sided
right?
Gue
juga sering mikir, selama ini gue hidup sebenernya punya kesan apa engga. Dari gue
SD, gue punya temen tapi berantem terus. Gue paling sering bikin ulah di
sekolah, sampe hampir dikeluarin karena satu dua hal. Masuk SMP, gue jadi bahan
bully-an senior selama 4 tahun
sebelum gue migrasi ke SMA lain. Sama hampanya kayak SMP, hidup SMA gue penuh
dengan cibiran orang-orang yang punya rumor tentang gue dari sekolah lama.
Dunia emang sempit, mereka punya temen yang temenan sama tukang bully di sekolah lama. Akhirnya gue jadi
sering sedih karena gue gabisa ngejaga pertemanan di kuliah yang gabisa gue
dapatkan di sekolah sebelomnya. But then
again I thought of it as if it’s balanced. We both got the better for our own. Sama halnya ketika gue muter
otak buat nulis. Apakah cerita-cerita gue sebenernya touching the readers’ heart? Apa jangan-jangan angka-angka pembaca
yang tampil di cerita gue hanyalah angka, yang isinya orang-orang yang cuma
buka dan langsung tutup? Apa iya setiap komentar yang tercantum di cerita gue
hanyalah sekedar komentar? Gue mencoba untuk mengambil sisi positif dari semua
pemikiran gue, dan akhirnya gue membuka satu per satu kemungkinan baik yang bisa
gue dapetin, sekaligus jadi pengalaman baru buat gue.
Gue
bilang kalo dalam hidup kita harus jadi sebuah nanas. Tajam untuk melawan hal
buruk di luar, punya mahkota sebagai lambang jati diri kita, dan manis di dalam
untuk memberi harapan untuk orang lain. Ada yang komentar “kenapa harus jadi
sebuah nanas, kalau bisa jadi terang dan garam dunia?” I froze my eyes to this comment. Bener juga, kita anak-anak Tuhan. Ada
yang kasih komentar pake kata-kata yang di-copy
dari novel yang mereka baca. “Life is
like a smoke that takes shape and transforms into another. Grab into it, it
will slip through your fingers.” Bener, hidup kita bagaikan asap yang gabisa
kita atur sendiri mau ke mana. Hanya Tuhan dan rencana-Nya yang bisa arahin
hidup kita ke mana, sisanya tergantung kita menjalani hidup kayak apa. Salah satu
komentar yang paling ngena buat gue adalah komentar quote yang bilang “Fate is
fickle and wretched. It robs a man of his friends and swamps him with enemies. It
even turns from friend to foe. And the worst part of it all is that man makes
his own fate.” Seringkali kita mengeluh soal hidup, sial dikit dibilang “udah
takdir begini”, ditolak sekali langsung bilang salah nasib jadi jomblo. Gue sendiri
masih berusaha untuk ngambil sisi positif dari sini. Bisa aja kita ditolak
karena emang Tuhan gamau kita sama orang itu. Bisa aja malah kita dikasih yang
lebih baik dari orang itu.
Living a good and healthy life is all about
how we think about it. Any statement that comes out from our head will
determine the next few moves in our lives, which is why negative thoughts
sometimes lead us into paths we don't want to cross. Of course, we don’t want to
cross paths with bad things, but sometimes we need to cross those paths in
order to grow. We can’t just stay in our comfort zone forever. As the Scripture
that I believed said, do your best and let God do the rest. I still hang on to
this principle.
Untuk
bisa menjalani ini semua, gue pake motivasi dari film 5cm. Yang kita perlu
sekarang adalah kaki yang akan berjalan lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih
banyak, mata yang akan menatap lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak,
lapisan tekad yang seribu kali lebih kuat dari baja, hati yang akan bekerja
lebih keras, dan mulut yang akan selalu berdoa. Gue sadar gue belom bisa
apa-apa masuk di dunia perkuliahan ini, tapi setidaknya gue tau gue mau ke mana
saat nanti lulus. Simpulnya, gue hanya butuh niat dan ketekunan buat mencapai
apa yang gue mau nanti. Semoga Tuhan bisa kasih gue hikmat, hehe. Karena hidup
gue semester ini baik-baik aja, cuma banyak mikir, gue cuma bisa cerita sampe
sini. Untuk menutup cerita gue kali ini, gue akan kasih pesan ke beberapa
orang.
To someone who felt like they let me down in
the comments for “Ephemeral”, I don’t know who you are (coz’ it’s anonymous
here ._.), but don’t be sorry. For you who commented to contact you if I need
an editor, please drop your contact info, I’d gladly ask for your assistance
(for free of course, I’m not rich). For you who still think I’m your twin, better
drop that title, cuz’ I don’t really want to share the same title with someone
who is a complete opposite of me. But don’t think that I’m avoiding you. I’m
just adjusting with my life since it’s a one-sided equilibrium on my side. For you
my friends whom I consider brothers, bear with me and my attitude. It may be
annoying, but know that I’ll never betray you. And know that I love you, as brothers
should be. Lastly, for you who’s on my mind lately. Have a good life, I pray
for your well-being. I left a message on the very top of this post, just for you.
Adios~
Comments
Post a Comment