Unforgettable

“With worry breaking down my legs and making me ever weak, but still, the only thing we can do is to keep living on. Even as the moon and sun fail to rise upon us again.” – Reol

-sips on a cup of tea-

Oh, hey there. Long time no see. Gue sudah lama sekali tidak menulis, sedang berada dalam masa jenuh gara-gara perkuliahan dan kehidupan sehari-hari. Tapi gue mencoba untuk menulis apa saja yang udah gue lewati selama hampir setahun ga nulis apa-apa. Jujur, gue kangen bercerita kepada kalian pembaca setia yang gue banggakan, hehe. First of all, I’m sorry if this time a lil’ bit weird, I’m still trying my best to get back my enthusiasm for writing. Here it goes...

Gue adalah salah satu dari sekian banyak manusia di Indonesia yang menyukai budaya Jepang. Of course, you all know the word. Segala sesuatu yang berhubungan sama kultur dan kebudayaan Jepang, kami semua pasti disebut sebagai “weeaboo”. Nama ini udah melekat ke kami, udah seperti belahan jiwa (ini mungkin karena kebanyakan weeaboo pada jomblo, mereka “no hope” sama kehidupan (apalagi soal cewe), makanya mereka berpindah ke cewe 2 dimensi yang cakep-cakep karya komikus Jepang sana) yang gabisa dilepaskan dari hidup kami. But I beg to differ about this. Buat kalian yang gabisa bedain mana artian weeaboo yang sebenernya, dan sebutan asli bagi mereka yang suka sama kebudayaan Jepang. First off, weeaboo itu sebutan untuk orang yang istilahnya ”norak” soal Jepang. Mereka suka, tapi mencampurkan bahasa Jepang dengan bahasa sehari-hari, dan mereka terkadang salah persepsi dalam hal kostum kehidupan sehari-hari. Jadi kalo kalian liat temen ato orang yang pake baju tebel, aksesoris di dahi atau pinggang, rambut wig, dan gaya bicaranya kayak “konnichiwa minna-san, nama watashi blablabla (biasanya dipanjangin buat kedengeran keren, padahal sebenernya cringy banget), watashi tinggal di Jakarta desu. ”, nah ini udah indikasi kalo dia adalah seorang weeaboo. Istilah lainnya itu otaku, orang-orang yang paham tentang kebudayaan Jepang (kadang paham banget, kayak ensiklopedia), tapi ga lebay. Simpelnya, beda weeaboo sama otaku terletak dari perbedaan kepribadian seseorang. Lo suka Jepang, lo pasang foto profil karakter favorit lo, nama di-translate ke bahasa Jepang, ngomong campur-campur, lo itu weeaboo.

Yang lucunya, kita sebagai orang Indonesia kadang triggered aja pas dikatain wibu. Sampe ada yang bikin meme soal Bung Karno yang isinya “Udah capek-capek gua usir Jepang, eh anak cucu gua jadi wibu.”, dan sempet viral di mana-mana (atau perasaan gue doang, gatau ._.), dan biasanya yang triggered ini datang dari kaum mayoritas Indonesia sendiri. Gue emang minoritas, tapi gue ga sampe se-triggered untuk perang kubu antar penyuka cewe 2D beda anime, engga. Gue terkadang suka banget menyamakan hal di mana ada orang berkata “gue bukan wibu!!!” sama orang yang suka bilang “ih dasar minoritas!”. Buat gue, kemunafikan yang kontradiktif. Yah, mungkin buat kalian kaum mayoritas yang baca tulisan gue, ga perlu tersingung. Ini tulisan gue personal dan ga bersifat menyerang kalian. Bukannya kenapa, terkadang kaum mayoritas itu benci banget sama segala sesuatu yang ada sangkut paut sama kaum minoritas, padahal mereka pake barang-barang yang pabrik gedenya ada di negara terbesar nomor 4 di dunia, dan hampir semua manusia di sana itu kaum yang sering ditindas di tanah air tercinta ini. Agak miris, tapi gue bisa apa, emang takdir Tuhan.

That aside, akhir-akhir ini gue jadi belajar banyak tentang hubungan. Baik itu dari pertemanan, lawan jenis, dan dengan Tuhan. I kept getting the feeling about whether to stay liking a person, leave her to find another one, or going back to the one I was interested with. To me, it’s all about choices. Like, staying or giving up is all up on me. I’m literally stuck on this for months, and I still am till now. Tiap kali gue baring di kasur, ada aja kepikiran soal cewe, minimal seorang. Gue jadi inget ketika waktu gue nonton Spider-Man: Far from Home, di mana Peter Parker, seorang yang sama gugupnya kayak gue waktu mencoba deketin cewe, bisa dapetin doi hanya karena plot. This got me thinking, I’m just an ordinary boy, who likes to stay on bed almost all the time, comes from a not-so-wealthy family (but we’re sufficient, thank God), and doing only the things I like until the point where I got troubles for doing so.

Sekian lama menyembuhkan diri dari trauma akibat mantan, gue belajar semakin banyak hal, dan gue bisa memetik hal-hal positif dari kejadian-kejadian yang gue alami dulu. Salah satunya adalah alasan kenapa gue masih sangat takut untuk sekedar basa-basi ke cewe yang gue suka, walaupun kenal seperti salah seorang jemaat di gereja tempat gue sekarang. Maybe my friends were right, I’m putting too many walls around me, not allowing people to see what I actually am. Mungkin juga gue salah karena gue ga bersikap dewasa dalam menghadapi orang seperti mantan, sehingga akhirnya timbul kepahitan. Jujur aja, walaupun banyak orang yang bilang “kalo ada apa-apa cerita aja”, I don’t open myself to talk that easy. That’s why this blog is born.

As time goes by, I still keep a distance around people, except for some. For some reason, I can express myself as free as I want to. Gue ga bisa sebebas yang gue mau, entah di media sosial (walaupun follower dikit, itu pun hampir setengah engga peduli dengan apa yang gue lakukan), entah di gereja, entah di rumah sekalipun. Teman-teman sepermainan yang sehobi lah yang gue rasa paling mengerti apa yang gue alami, dan gue bisa dengan bebas cerita ke mereka tanpa insecurities. Gue sebenernya paling ga suka punya akun media sosial yang diikuti sama orang tua. Kenapa? Bukannya takut durhaka, tapi mereka kelewat paranoid. Pernah satu kejadian gue depresi karena udah berkali-kali daftar tempat magang dan ga keterima, gue nulis status kayak gini “I’ll just leave it to God, whether dropping out without degree, or just dump myself at whatever company, and at whatever job they give me.” Sukses banget bikin nyokap bilang “Mami tuh ditanyain sama temen-temen mami, ‘anak kamu kenapa?’, ya kan mami jadi khawatir kamu tuh sebenernya kenapa..” Saya sangat paham dengan rasa khawatir orang tua, tapi IMO, plis deh, kata-kata orang lain kok kalian yang sampe pusing? Yang ngatur hidup gue kan kalian orang tua, kenapa hanya dengan sepotong kalimat “Anak lu kenapa?” jadi parnoan akan hidup gue? Malah dikira seakan-akan gue ga mensyukuri apa yang gue udah dapetin di hidup.

That being said, di hari itu juga gue jelasin kenapa gue bilang kayak gitu. Setelah gue depresi, ternyata Tuhan emang bener ga ninggalin gue, malah ngasih jalan baru. Selesai ujian akhir, kampus gue ngadain pembekalan menuju magang, dan buat yang masih belom dapet tempat magang bisa konsultasi ke pihak pengurus. Ditanya dong, “Siapa yang mau magang di luar kota?” Gue langsung sekip, karena skeptis soal ijin dari orang tua. Ada beberapa pilihan sampe akhirnya yang tersisa emang cuma pilihan pertama tentang magang di luar kota tersebut. Karena gue bertekad untuk lulus walaupun harus telat 1 semester karena ada mata kuliah yang ngulang, jadi gue beranikan diri tanya langsung ke pengurus. Gue gatau kalau keberanian berujung kepada gue dan seorang teman langsung keterima magang di Polytron Kudus untuk 1 tahun ke depan, mulai dari 2 Maret. Gue yang saat itu (dan sampai sekarang) lebih nyiapin diri untuk tanding dengan harapan bisa ke Jepang gratis, jadi mikir keras. Tadinya pengurus bilang kalau lebih cepat lebih baik, jadi gue mengira kalau gue akan dilempar ke Kudus sebelum gue bisa membuktikan diri gue kalo gue bisa unjuk gigi di kancah internasional. Tapi Tuhan sekali lagi baik, pihak Polytron pesenin tiket perjalanan satu minggu setelah kesempatan unjuk gigi. Jadi gue bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Well, that’s another story for another time, just wait for it, and wish me luck for the upcoming championship.

If I am able to choose anything in my life, I’d rather go back and tell myself at the age 15, that everything is gonna be alright, just keep on doing what you like, and screw off what other people said that could demotivate you. If you ever feel not being respected, see yourself first. You deserve to get respected if you have respected people first. Obedience unlocks understanding, but understanding can wait. There is a purpose in every pain. Be patient, and pray that God will reply everything you do with good news. Lastly, change what you won’t accept, and accept things that won’t change.

I wish you all well, nowadays people got sick easily, so stay safe, and have a nice day. Adios~

Comments

  1. Ku tau gigi anda putih makanya mau unjuk gigi

    -one of your ****ds probably

    ReplyDelete

Post a Comment